CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Social Profiles

Facebook  Twitter  Google+ Soundcloud Instagram Yahoo

Rabu, Januari 13, 2016

Kasus - Kasus Bisnis Indonesia (Kepailitan Batavia Air)

Kepailitan, sesuai dengan pasal 1 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004, adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Pengadilan yang berwenang dalam proses kepailitan suatu perusahaan adalah Pengadilan Niaga. Menurut UU No. 37 tahun 2004 pasal 2, pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit yaitu

a) Debitur atau kreditur
b) Kejaksaan
c) Bank Indonesia, apabila debiturnya adalah Bank
d) Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), apabila debiturnya adalah perusahaan efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
e) Menteri Keuangan, apabila debiturnya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, Dana Pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.

Suatu permohonan pailit yang diajukan oleh pihak-pihak diatas harus memenuhi persyaratan yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan adanya dua atau lebih kreditur. Dalam kepailitan, ada tiga jenis kreditur, yaitu:

a) Kreditur separatis, yaitu kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak sendiri. Golongan kreditur ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitur. Kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya merupakan karakteristik kreditur separatis,
b) Kreditur preferen, yaitu kreditur yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. Hak istimewa mengandung makna “hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya.
c) Kreditur konkuren, yaitu kreditur yang harus berbagi dengan para kreditur lainnya secara proporsional (pari passu), yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan, dari hasil penjualan harta kekayaan debitur yang tidak dibebani dengan hak jaminan.

Pembayaran utang dengan prioritas paling utama adalah pembayaran utang kepada kreditur separatis. Lalu, prioritas kedua adalah kepada kreditur preferan, dan yang terakhir adalah kepada kreditur konkruen.

Suatu kepailitan tidak terjadi dalam suatu tahap yang mudah dan cepat, tetapi melalui beberapa proses yang cukup panjang. Berikut adalah suatu proses kepailitan suatu debitur:

a) Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga melalui panitera pengadilan oleh penasehat hukum terdaftar,
b) Dilakukan penyitaan umum (sita jaminan) atas kekayaan debitur untuk menjamin piutang kreditur,
c) Setelah pernyataan pailit ditetapkan, ditunjuk hakim pengawas dan kurator (pengurus dan pelaksana kepailitan),
d) Setelah itu diadakan rapat verifikasi (pencocokan dan klarifikasi piutang) yang melibatkan hakim pengawas, kurator, kreditur terkait, dan debitur,
e) Jika usul perdamaian debitur diterima (homologasi), kepailitan berakhir dan sisa tagihan yang belum terbayar tidak dapat ditagih lagi,
f) Jika usul perdamaian ditolak, Pengadilan Niaga sekaligus menetapkan putusan pailit debitur dan kekayaan debitur berada dalam keadaan insolvensi (debitur tidak mampu membayar utangnya dan kekayaannya menjadi harta pailit),
g) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari sejak putusan pailit ditetapkan, kurator harus mengumumnkannya dalam Berita Ngera RI dan dua surat kabar yang ditetapkan oleh hakim pengawas,
h) Jika pihak terkait tidak mengusulkan kurator tertentu, Balai Harta Peninggalan (BHP) bertindak sebagai kurator dalm proses kepailitan
i) Untuk kepentingan harta pailit, dapat dimintakan pembatalan perbuatan debitur sebelum putusan pailit, yang merugikan kepentingan kreditur,
j) Apabila piutang kreditur tidak cukup terbayar, untuk sisanya, status kreditur separatis berubah menjadi kreditur konkruen,
k) Terhadap putusan pailit dapat diajukan langsung kasasi ke Mahkamah Agung dan permohonan peninjauan kembali (PK) apabila memenuhi syarat.

3. SYARAT-SYARAT KEPAILITAN
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat ( 1 ) UUK :

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak mambayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”

Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU di atas, supaya pasal 1131 dan 1132 KUHP berlaku sebagai jaminan pelunasan utang Kreditur, maka pernyataan pailit tersebut harus dilakukan dengan putusan Pengadilan yang terlebih dahulu dimohonkan kepada Pengadilan Niaga. Menurut Gunawan Widjaja, maksud dari permohonan dan putusan pailit tersebut kepada Pengadilan adalah untuk memenuhi asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar Debitur. Asas tersebut dimaksudkan untuk memberitahukan kepada khalayak umum bahwa Debitur dalam keadaan tidak mampu membayar, dan hal tersebut memberi kesempatan kepada Kreditur lain yang berkepentingan untuk melakukan tindakan. Dengan demikian, dari pasal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa dikabulkannya suatu pernyataan pailit jika dapat terpenuhinya persyaratan kepailitan sebagai berikut:

1) Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih Kreditur.
Untuk melaksanakan Pasal 1132 KUHPer yang merupakan jaminan pemenuhan pelunasan utang kepada para Kreditur, maka pasal 1 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU mensyaratkan adanya dua atau lebih Kreditur. Syarat ini ditujukan agar harta kekayaan Debitur Pailit dapat diajukan sebagai jaminan pelunasan piutang semua Kreditur, sehingga semua Kreditur memperoleh pelunasannya secara adil. Adil berarti harta kekayaan tersebut harus dibagi secara Pari passu dan Prorata. Pari Passu berarti harta kekayaan Debitur dibagikan secara bersama-sama diantara para Kreditur, sedangkan Prorata berarti pembagian tersebut besarnya sesuai dengan imbangan piutang masing-masing Kreditur terhadap utang Debitur secara keseluruhan.

Dengan dinyatakannya pailit seorang Debitur, sesuai pasal 22 jo. Pasal 19 Undang-undang Kepailitan dan PKPU, Debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan ke dalam kepailitan. Terhitung sejak tanggal putusan Pengadilan, Pengadilan melakukan penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan Debitur Pailit, yang selanjutnya akan dilakukan pengurusan oleh Kurator yang diawasi Hakim Pengawas. Dan bila dikaitkan dengan pasal 1381 KUHPer tentang hapusnya perikatan, maka hubungan hukum utang-piutang antara Debitur dan Kreditur itu hapus dengan dilakukannya “pembayaran” utang melalui lembaga kepailitan.

2) Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Gugatan pailit dapat diajukan apabila Debitur tidak melunasi utangnya kepada minimal satu orang Kreditur yang telah jatuh tempo, yaitu pada waktu yang telah ditentukan sesuai dalam perikatannya. Dalam perjanjian, umumnya disebutkan perihal kapan suatu kewajiban itu harus dilaksanakan. Namun dalam hal tidak disebutkannya suatu waktu pelaksanaan kewajiban, maka hal tersebut bukan berarti tidak dapat ditentukannya suatu waktu tertentu. Pasal 1238 KUHPer mengatur sebagai berikut:

“Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Adapun criteria yang harus dipenuhi, yakni debitur mempunyai atau lebih kteditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Rumusan utang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 6 UUK menyebutkan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau UU dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.

Adapun syarat yang lain dalam kepailitan yaitu :
Pailit berarti pemogokan pembayar atau kemacetan pembayaran.
Debitur dalam keadaan berhenti membayar, dengan putusan hakim dia dinyatakan pailit.
Putusan pailit akan diucapkan hakim, bila secara sumir terbukti adanya peristiwa atau keadaan yang menunjukan adanya keadaan berhenti membayar dari debitur.
Sumir terbukti berarti untuk pembuktian tidak berlaku peraturan pembuktian yang biasa ( buku IV KUHPerdata ).

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhan dari harta kekayaan debitur.

3. Kronologi Kepailitan Batavia Air
a) Peristiwa menjelang pailitnya Batavia Air
Utang ini bermula dari keinginan Batavia Air untuk mengikuti tender pelayanan haji dengan menyewa (leasing) dua pesawat Airbus A330 dari ILFC. Namun, dari total kontrak leasing selama 9 tahun, sudah 3 tahun berturut-turut Batavia Air kalah tender di Kementerian Agama untuk mengangkut jemaah haji. Dalam gugatan ILFC, Batavia Air memiliki tagihan sebesar USD 440rb di tahun pertama, USD 470rb di tahun kedua, USD 500rb di tahun ketiga dan ke empat, dan USD 520rb di tahun kelima dan keenam. Keseluruhan utang dari ILFC sebesar USD 4,68 juta ini memiliki tanggal jatuh tempo di 13 Desember 2012. Selain gugatan dari ILFC, Batavia Air juga memiliki utang sebesar USD 4,94 juta kepada Sierra Leasing Limited yang jatuh tempo di 13 Desember 2012 juga. Analisa dari OSK Research Sdn Bhd di bulan Oktober 2012 memperkirakan total utang Batavia Air sebesar USD 40juta. Sebagai perusahaan swasta (private corporation) Batavia Air juga tidak memiliki kewajiban untuk memberikan laporan keuangan nya secara publik, sehingga dalam hal ini juga sulit untuk memberikan menyimpulkan kondisi keuangan Batavia Air.

Menurut Dudi Sudibyo, permasalahan ini diperparah dengan ketidak pedulian Batavia Air dalam mendayagunakan kedua pesawat A330 ini untuk melayani rute-rute lain selama menganggur. Barangkali yang juga kurang dipublikasikan di media cetak adalah adanya kenaikan persyaratan deposit Travel Agent di Batavia Air per bulan April 2012. Persyaratan minimum deposit yang sebelumnya sebesar 7.500.000, diubah menjadi minimum 15.000.000 rupiah. Kenaikan deposit ini hanya ditunjang dengan alasan untuk mengurangi “ribet” nya administrasi penambahan deposit.

Di bulan Oktober 2012, Air Asia telah mengajukan rencana untuk mengakuisisi Batavia Air senilai USD 80juta. Rencana akuisisi ini menjadi polemik yang cukup populer di Indonesia karena kekuatiran akan masuk nya pihak luar ke dalam industri penerbagan Nusantara. Namun tidak lama berselang, rencana tersebut kandas dengan keputusan Air Asia untuk membatalkan transaksi tersebut dikarenakan “risiko bisnis dan penurunan pendapatan”.

Menurut Dirjen Perhubungan Udara, Herry Bakti, seusai gagal nya akuisisi Batavia Air oleh Air Asia, rute Batavia Air telah berkurang secara drastis, yang awal nya 64 rute, menjadi 44 rute saja. Namun di tengah pengurangan rute ini, airlines domestik lain malah memperlihatkan penambahan rute yang cukup signifikan, terutama Air Asia, yang mulai merambah ke rute-rute strategis Batavia Air, seperti Semarang-Singapura yang sebelumnya hanya dilayani oleh Batavia Air.

Di penghujung akhir Januari 2013, Batavia Air mulai mengalami penurunan secara drastis, terutama diakibatkan oleh tuntutan pailit oleh ILFC. Kepercayaan calon penumpang pun mulai berkurang, banyak penumpang kuatir akan terulang nya peristiwa tutup nya Adam Air dan Mandala Air. Dalam penutupan dua airlines tersebut, tiket yang sudah dibeli oleh penumpang banyak yg hilang tanpa pengembalian uang. Beberapa hoax messages pun juga banyak beredar di BBM, terutama yang menyangkut akan segera ditutup nya Batavia Air oleh Dirjen Perhubungan.

Tepat sehari menjelang keluarnya putusan pailit oleh pengadilan negeri Jaksel (30 Jan 2013), sempat terjadi pengajuan pencabutan gugatan pailit oleh ILFC. Namun pengajuan pembatalan ini telah ditolak langsung oleh Batavia Air dikarenakan Batavia Air sudah merasakan dampak penurunan kepercayaan publik secara drastis. Batavia Air pun mengakui semua utang-utangnya tersebut. Dengan penolakan ini maka putusan pengadilan negeri Jaksel berlanjut menjadi pailit bagi Batavia Air.

b) Proses penyelesaian pailit oleh kurator
Penyelesaian pailit Batavia Air telah diputuskan untuk diurus oleh empat kurator, antara lain Turman M Panggabean, Permata Nauli Daulay, Andra Reinhard Sirait, dan Alba Sumahadi. Kantor kurator bertempat di Ruko Cempaka Mas B-24, Jl. Letjen Suprapto, Jakarta Pusat.

Beberapa aktifitas yang sudah terjadwal ada sebagai berikut:
15 Feb 2013: Rapat Kreditur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pukul 09:00,
18 Feb 2013: Mengundang kreditur non-tiket dan agen untuk mengajukan tagihan kreditur dan pajak di Kantor Kurator,
18 Feb – 1 Maret 2013: Penumpang Batavia Air bisa muendaftarkan diri sebagai kreditur Batavia Air,
14 Maret 2013: Verifikasi dan pencocokan piutang di kantor Kurator.
Namun untuk para pemegang tiket calon penumpang, salah satu Kurator Batavia Air (Turman Panggabean) sudah menyatakan bawah penggantian tiket calon penumpang dapat dilakukan dengan syarat ada investor baru. Jadi sepertinya sudah pupus harapan bagi pemegang tiket untuk bisa mendapatkan uang refund atau pengembalian.

c) Akibat pailitnya Batavia Air bagi penumpang dan agen travel
Akibat putusan pailit Batavia, beberapa asosiasi travel agent sudah mencatatkan kerugian mencapai milliaran rupiah. Asosiasi Travel Agen Indonesia (Asita) Jakarta dengan anggota sekitar 1500 agen, memperkirakan dana deposit yang hilang mencapai 20 milliar rupiah. Sementara itu, Astindo Sulawesi Tengah mencatat kerugian uang deposit mencapai 500 juta rupiah.

Pasca penutupan Batavia Air, beberapa airlines telah menawarkan bantuan bagi penumpang Batavia Air dengan booking ulang secara cuma-cuma. Tiger Airways (dan Mandala Airlines) telah menawarkan rebooking gratis untuk rute-rute tertentu (CGK-SG, CGK-PKB, CGK-Padang, dan CGK-SUB). Express Air juga mengakomodir penumpang Batavia Air untuk rute Yogyakarta – Pontianak secara gratis.

d) Langkah kedepan untuk mencegah terulangnya Batavia Air
Escrow Account untuk deposit travel agent dan tiket yang belum terpakai. Dengan terjadinya kasus pailit Batavia Air, Astindo (Assosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan) mendesak Departemen Perhubungan untuk membuat peraturan baru dimana deposit travel agent dan deposit tiket yang belum terpakai untuk ditempatkan dalam escrow account atau akun penjaminan yang terpisah dari operasional perusahaan penerbangan. Sehingga dalam kasus-kasus pailit seperti Batavia Air, deposit tersebut dapat diamankan secara terpisah.

Proposal yang kedua adalah kerja sama dari Asosiasi Travel yang telah ada, antara lain Astindo, Asita, maupun assosiasi-assosiasi lain nya, untuk membuat sebuah “early detection system”. Early detection ini dapat menggunakan beberapa indikasi, antara lain: pengurangan rute penerbangan secara signifikan, utang yang mulai gagal bayar, analisa perbandingan uutang dengan aset perusahaan, dll. Dengan fasilitas seperti ini, iuran tahunan assosiasi-assosiasi yang terkadang berjumlah cukup besar menjadi lebih berguna.

4. Analisis Hukum / Yuridis
Proses pailit Batavia Air ini dilaksanakan atas suatu dasar hukum, yaitu UU No. 37 tahun 2004, yang mengatur tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Proses awal pailit dimulai dari permohonan pailit yang diajukan oleh ILFC. Permohonan ini telah memenuhi syarat dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 ayat (4) UU No. 37 tahun 2004, yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan adanya kreditur lain. Karena itulah, permohonan ini ditindaklanjuti oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Lalu, proses pembuktian juga memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu sesuai dengan pasal 164 HIR. Bukti tersebut yaitu berupa pengakuan yang dilontarkan oleh Batavia Air atas utang-utang yang dimilikinya.

Tak ada kemampuan Batavia dalam membayar utangnya disebabkan karena force majeur, yaitu kalah tender pelayanan transportasi ibadah haji dan umroh ini. Hal ini menjadi biang kerok tersendatnya pembayaran. Karena, pesawat yang disewa tersebut diperuntukkan melayani penumpang yang hendak melakukan ibadah haji dan umrah ke Mekah-Madinah. Sehingga, sumber pembayaran sewa pesawat berasal dari pelayanan penumpang yang melakukan ibadah haji dan umrah. Akan tetapi, dalil force majeur ini tidak dapat dibuktikan dan disetujui karena tidak tercantum dalam perjanjian utangnya dengan ILFC. Perjanjian ini merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan utang piutang kedua pihak tersebut. Namun nyatanya, Batavia Air tidak dapat membuktikan dalil tersebut. Untuk itu, majelis hanya mempertimbangkan apa yang dapat dibuktikan saja.

Kepailitan Batavia Air juga memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu surat putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST tertanggal 30 Januari 2013.

5. Komentar
Proses pembuktian yang dilakukan terhadap Batavia Air terbilang mudah karena Batavia Air sendiri mengakui utang-utangnya tersebut. Akan tetapi, alasan Batavia Air tidak bisa membayar utang-utangnya karena force majeur ditolak oleh pengadilan. Lalu, ketika dilakukan verivikasi jumlah utang, terdapat perbedaan antara jumlah utang Batavia Air menurut ILFC dan SLL. Pada akhirnya, perbedaan jumlah utang tersebut tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit dikarenakan hakim hanya melihat fakta adanya pengakuan utang. Apabila nantinya terdapat perbedaan jumlah utang, maka dapat diselesaikan oleh kurator pada masa pencocokan utang.

Pemberhentian operasi Batavia Air ini menimbulkan tanda tanya dari berbagai pihak, salah satunya adalah situs hukumonline.com. Ketika ditanya hukumonline.com untuk belajar dari kasus Telkomsel agar tetap beroperasi, Raden Catur Wibowo, kuasa hukum Batavia Air, mengatakan bahwa kasus tersebut berbeda. Pasalnya, industri penerbangan tidak sama dengan industri telekomunikasi. Akibat dari permohonan pailit ini, semua pemilik pesawat telah menarik pesawat-pesawatnya, Alhasil, Batavia hanya memiliki 14 pesawat yang diberdayakan. “Dan itu sangat berat hanya mengoperasikan 14 pesawat. Kalau sudah ditarik, apa yang mau kita operasikan,” pungkas Catur usai persidangan.

Menurut Suharto Abdul Majid, Ketua Forum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), kepailitan Batavia Air dinilai mencurigakan. Ada dua poin penting mengenai kecurigaannya terhadap kepailitan Batavia Air. Yang pertama, berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, setiap perusahaan penerbangan diwajibkan memiliki dana cadangan yang memadai. Dalam hal ini berarti bahwa dalam struktur keuangan maskapai penerbangan ada bank garansi yang menjamin. Suharto menuturkan, dengan adanya garansi tersebut, jika terjadi sesuatu seperti kepailitan, sudah ada jaminan bank yang dapat melunasi utang perusahaan penerbangan. Ia yakin Batavia Air memiliki dana cadangan. Tetapi nyatanya, kasus kepailitan Batavia Air tidak dapat dihindari. Lalu yang kedua, kepailitan Batavia Air ini terbilang tiba-tiba. Menurut Suharto, jangka waktu penyelesaian utang Batavia Air tergantung kemauan perusahaan penerbangan itu. Suharto mengatakan, jangka waktu penyelesaian utang bisa dilakukan dalam satu bulan, bahkan satu tahun. "Peluang sengaja dipailitkan, bisa saja," kata Suharto.

Terlepas dari semua persepsi dan dugaan yang telah diarahkan kepada kasus kepailitan Batavia Air, nyatanya kasus kepailitan Batavia Air ini telah menjadi suatu luka dalam industri transportasi udara di Indonesia yang tidak dapat dihindari. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan sistem keuangan maskapai penerbangan, yang harus dimulai dari regulasi oleh pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar