CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Social Profiles

Facebook  Twitter  Google+ Soundcloud Instagram Yahoo

Rabu, Januari 13, 2016

Hukum Perjanjian dan Perikatan

A. Pengertian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.”

Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk menaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

R. Subekti mengemukakan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.” Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.

Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut Subekti, Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.

Perikatan dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan yang lahir dari “undang-undang”. Perikatan yang lahir dari undang­undang dapat dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena undang-undang saja (Pasal 1352 KUH Perdata) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Sementara itu, perikatan yang lahir dari undang­undang karena suatu perbuatan orang dapat lagi dibagi kedalam suatu perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari suatu perbuatan yang berlawanan dengan Hukum (Pasal 1353 KUH Perdata).

B. Asas-asas dalam Hukum Perjanjian & Perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.

a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

b. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.

C. Syarat Sahnya Perjanjian & Perikatan
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengemukakan empat syarat,yaitu :

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Syarat pertama dari sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan adalah “persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.” Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Pernyataan secara diam-diam sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari kita. Misalnya, seorang penumpang yang naik angkutan umum, dengan membayar ongkos angkutan kepada kondektur kemudian pihak kondektur menerima uang tersebut dan berkewajiban mengantar penumpang sampai ke tempat tujuannya dengan aman. Dalam hal ini, telah terjadi perjanjian walaupun tidak dinyatakan secara tegas.

Persetujuan tersebut harus bebas, tidak ada paksaan. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk terjadinya perjanjian yang sah. Dianggap perjanjian tersebut tidak sah apabila terjadi karena paksaan, kekhilafan atau penipuan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang menyatakan jika di dalam perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat kehendak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Cacat kehendak artinya “bahwa salah satu pihak sebenarnya tidak menghendaki isi perjanjian yang demikian. Seseorang dikatakan telah membuat kontrak secara khilaf manakala dia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang ternyata tidak benar.

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
Menurut Pasal 1329 KUH Perdata kedua belah pihak harus cakap menurut hukum. Kecakapan bertindak adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Dimana perbuatan hukum ialah perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Ada beberapa golongan oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap, yaitu:

a. Orang yang belum dewasa Menurut Pasal 330 KUH Perdata
Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap 21 tahun maka tidak berarti mereka kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.

b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan
Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Seseorang yang berada di bawah pengawasan pengampuan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Jika seorang anak yang belum dewasa harus diwakili orang tua atau walinya maka seorang dewasa yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dalam pasal 433 KUH Perdata, disebutkan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap, harus di bawah pengampuan jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seseorang yang telah dewasa dapat juga berada di bawah pengampuan karena keborosannya.

c. Orang perempuan
Dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sesuai dengan pasal 31 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo.SEMA No.3 Tahun 1963.

3. Adanya suatu hal tertentu
Suatu hal dapat diartikan sebagai objek dari perjanjian. Yang diperjanjikan haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok-pokok perjanjian. Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan itu harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu asal barang kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

4. Adanya sebab yang halal
Di dalam Undang-undang tidak disebutkan pengertian mengenai sebab (orzaak,causa). Yang dimaksud dengan sebab bukanlah sesuatu yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian, karena alasan yang menyebabkan para pihak untuk membuat perjanjian itu tidak menjadi perhatian umum. Adapun sebab yang tidak diperbolehkan ialah jika isi perjanjian bertentangan dengan undang­undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Dari uraian di atas, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka salah satu pihak dapat meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, namun, apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Sementara itu, apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

Keempat syarat tersebut haruslah dipenuhi oleh para pihak dan apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut telah terpenuhi, maka menunit Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum sama dengan kekuatan suatu Undang-undang.

D. Jenis-jenis Perjanjian & Perikatan

a. perjanjian Timbal Balik
Adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian Jual Beli.

b. Perjanjian Cuma-Cuma
Adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.

c. Perjanjian Atas Beban
Adalah perjanjian dimana prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prsetasi dari pihak lain, dan antara kedua prsetasi itu ada hubunganya menurut hukum.

d. Perjanjian Bernama (Benoemd)
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata.

e. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde Overeenkomst)
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak- pihak yang mengadakannya.

f. Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian diaman pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada piak lain.

g. Perjanjian Kebendaan (Zakelijk)
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblilige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer).

h. Perjanjian Konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perjanjian. Menurut KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338).

i. Perjanjian Real
Di dalam KUHP ada juga perjanjian yang anya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Perjanjian ini dinamakan perjanjian riil. Misalnya perjanjian penitipan barang pinjam pakai.

j. Perjanjian Liberatoir
Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada(Pasal 1438 KUHPerdata). Misalnya perjanjian pembebasan hutang.

k. Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomts)
Suatu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.

l. Perjanjian Untung–untungan
Menurut Pasal 1774 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian untunguntungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadianyang belum tentu. Misalnya perjanjian asuransi.

m. Perjanjian Publik
Perjanjian publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan (subordinated), jadi tidak dalam kedudukan yang sama. misalnya perjanjian ikatan dinas dan perdagangan barang pemerintahan.

n. Perjanjian Campuran
Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai unsure perjanjian di dalamnya. Misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar(sewa menyewa) tetapi menyajikan pula makanan (jual beli) dan juga memeberikan pelayanan.

Dari jenis-jenis perjanjian di atas, dapat dilihat bahwa perjanjian waralaba termasuk jenis perjanjian tidak bernama atau onbenoemde overeenkomst . dalam Kamus Hukum onbenoemde overeenkomst adalah perjanjian atau persetujuan yang tdiak mempunyai nama khusus ataupun yang tidak dikenal dengan suatu nama.

E. Prinsip-prinsip Perjanjian & Perikatan

a. Prinsip Kesepakatan
Meskipun dalam suatu kontrak baku disangsikan adanya kesepakatan kehendak yangbenar-benar seperti diinginkan oleh para pihak, tetapi kedua belah pihak akhirnya juga menandatangani kedua kontrak tersebut. Dengan penandatanganan tersebut, maka dapat diasumsi bahwa kedua belah pihak telah menyetujui isi kontrak tersebut, sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata sepakat telah terjadi.

b. Prinsip Asumsi Resiko
Dalam suatu kontrak setiap pihak tidak dilarang untuk melakukan asumsi resiko. Artinya bahwa jika ada resiko ada resiko tertentu yang mungkin terbit dari suatu kontrak tetapi salah satu pihak bersedia menanggung risiko tersebut sebagai hasil dari tawar menawarnya, maka jika memang jika risiko tersebut benar-benar terjadi, pihak yang mengasumsi risiko tersebutlah yang harus menagunggung risikonya. Dalam hubungan dengan kontrak baku, maka dengan menandatangani kontrak yang bersangkutan, berart segala risiko apapun bentuknyaakan ditanggung oleh pihak yang menandatanganinya sesuai isi dari kontrak tersebut.

c. Prinsip Kewajiban Membaca
Sebenarnya, dalam ilmu hukum kontrak diajarkan bahwa ada kewajiban membaca (duty to read) bagi setiap pihak yang akan menandatangani kontrak. Dengan demikian, jika dia telah menandatangani kontrak yang bersangkutan, hukum mengasumsikanbahwa dia telah membacanyadan menyetujui apa yang telah dibancanya.

d. Prinsip Kontrak Mengikuti Kebiasaan
Memang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bahwa banyak kontrak dibuat secara baku. Karena kontrak baku tersebutmenjai terikat, antara lain juga karena keterikatan suatu kontrak tidak hanya terhadap kata-kata yang ada dalam kontrak tersebut, tapi juga terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan. Lihat pasal 1339 KUHPerdata Indonesia. Dan kontrak baku merupakan suatu kebiasaan sehari-hari dalam lalu lintas perdagangan dan sudah merupakan suatu kebutuhan masyarakat, sehingga eksistensinya mestinya tidak perlu dipersoalkan lagi.

F. Faktor-faktor Penyebab Berakhirnya Perjanjian & Perikatan

Dalam Pasal 1381 KUHP menyebutkan tentang cara berakirnya suatu perikatan, yaitu:
Perikatan-perikatan berakhir karena :

a. Pembayaran
Pembayaran tidak selalu diartikan dalam bentuk penyerahan uang semata, tetapi terpenuhinya sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga memenuhi unsur pembayaran.

b. Penawaran Pembayaran, Diikuti Dengan Penyimpanan atau Penitipan
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai hal yang diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian pinjam meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan cicilan, apabila pihak yang berhutang dapat membayar semua jumlah pinjamannya sebelum jatuh tempo, maka perjanjian dapat berakhir sebelum waktunya.

c. Pembaharuan Hutang
Pembaharuan utang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, sebab munculnya perjanjian baru menyebabkan perjanjian lama yang diperbaharui berakhir. Perjanjian baru bisa muncul karena berubahnya pihak dalam perjanjian, misalnya perjanjian novasi dimana terjadi pergantian pihak debitur atau karena berubahnya perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian sewa, karena pihak pembeli tidak mampu melunasi sisa pembayaran.

d. Perjumpaan Hutang atau Kompensasi
Perjumpaan hutang terjadi karena antara kreditur dan debitur saling mengutang terhadap yang lain, sehingga utang keduanya dianggap terbayar oleh piutang mereka masing-masing.

e. Percampuran Hutang
Berubahnya kedudukan pihak atas suatu objek perjanjian juga dapat menyebabkan terjadinya percampuran hutang yang mengakhiri perjanjian, contohnya penyewa rumah yang berubah menjadi pemilik rumah karena dibelinya rumah sebelum waktu sewa berakhir sementara masih ada tunggakan sewa yang belum dilunasi.

f. Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi karena adanya kerelaan pihak kreditur untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar hutang, sehingga dengan terbebasnya debitur dari kewajiban pemenuhan hutang, maka hal yang disepakati dalam perjanjian sebagai syarat sahnya perjanjian menjadi tidak ada padahal suatu perjanjian dan dengan demikian berakhirlah perjanjian.

g. Musnahnya Barang yang Terhutang
Musnahnya barang yang diperjanjikan juga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat perjanjian karena barang sebagai hal (objek) yang diperjanjikan tidak ada, sehingga berimplikasi pada berakhirnya perjanjian yang mengaturnya.

h. Kebatalan atau Pembatalan
Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat menyebabkan perjanjian berakhir, misalnya karena pihak yang melakukan perjanjian tidak memenuhi syarat kecakapan hukum. Tata cara pembatalan yang disepakati dalam perjanjian juga dapat menjadi dasar berakhirnya perjanjian. Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang tidak diatur perjanjian hanya dapat terjadi atas dasar kesepakatan para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata atau dengan putusan pengadilan yang didasarkan pada Pasal 1266 KUHPerdata.

i. Berlakunya Suatu Syarat Batal
Dalam Pasal 1265 KUHPerdata diatur kemungkinan terjadinya pembatalan perjanjian oleh karena terpenuhinya syarat batal yang disepakati dalam perjanjian.

j. Lewatnya Waktu
Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu (Kedaluarsa) perjanjian.

G. Wanprestasi & Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.

a. Bentuk-bentuk Wansprestasi
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melkukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

b. Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni:

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni:

· Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
· Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
· Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.

3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar